√ Dapatkah Siswa Dikatakan “Bodoh” Sesudah Penilaian. Ini Alasannya!

Guru sebaiknya menerapkan prinsip “praduga tak bersalah” terhadap siswa. Guru jangan cepat tetapkan bahwa tidak tuntasnya nilai siswa ialah akhir siswa tidak mencar ilmu sehingga dikatakanlah “siswa terlalu bodoh”. Guru perlu melaksanakan beberapa tindakan semoga mendapat warta akurat sehubungan dengan nilai siswa yang tidak tuntas. Apa saja tindakan dimaksud?

1. Memeriksa kembali alat ukurnya
Alat ukur yang dipakai haruslah baik, alat ukur biasanya bekerjasama dengan tes (mengerjakan soal-soal) dan non tes(tanya jawab).

Alat ukur yang baik memperhatikan beberapa persyaratan menyerupai mengadakan diagnosisi terhadap kesulitan mencar ilmu siswa, mengevaluasi celah antara talenta dengan pencapaian, menaikkan tingkat prestasi, mengelompokkan siswa dalam kelas pada waktu metode kelompok, merencanakan kegiatan proses mencar ilmu mengajar untuk siswa secara perseorangan, memilih siswa mana yang memerlukan bimbingan khusus dan memilih tingkat pencapaian untuk setiap anak.

Sedangkan urutan langkah penyusunan tes dilakukan dengan memilih tujuan mengadakan tes, mengadakan pembatasan terhadap materi yang akan di teskan, merumuskan tujuan instruksional dari tiap pecahan materi kini yang diperhatikan ialah standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kemudian dalam menyusul soal yang akan diteskan harus memperhatikan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

2. Kompetensi penilai
Kesalahan pada waktu melaksanakan penilaian lebih banyak disebabkan oleh faktor subyektif penilai. Banyak hal yang sanggup mempengaruhi obyektifitas penilai menyerupai goresan pena yang jelek, tidak jelas, gangguan pada dikala menyelidiki hasil tes dan lain sebagainya. Selain itu terdapat kecenderungan penilai untuk menunjukkan nilai secara murah atau mahal.

Baca Juga

Tidak ada kesepakan umum yang dijadikan ukuran pertolongan nilai, contohnya ketika menemukan tanggapan salah, ada guru yang memberi nilai secara cuma-cuma contohnya “2” dengan alasan “harga tinta”. Faktor “hallo-effect” juga sanggup mempengaruhi penilai, faktor ini bekerjasama dengan kesan penilai terhadap siswa. Misalnya ada siswa yang miliki kedekatan dengan guru lantaran sering “disapa”.

Pengaruh guru terhadap hasil perolehan nilai siswa sebelumnya juga tidak sanggup dianggap remeh, imbas ini kadang sanggup menutup mata guru memberi nilai dengan perkiraan bahwa siswa tersebut mempunyai kemampuan minimal sama dengan yang diraihnya pada tes sebelumnya dan ini banyak terjadi dikalangan guru, padahal hasil yang diperoleh siswa belum tentu sama dengan hasil yang diperoleh sebelumnya lantaran berbeda SK dan KD.

3. Faktor kejiwaan anak dikala pelaksanaan penilaian
Siswa juga mempunyai perasaan dan suasana hati, bisa saja terjadi kalut, duka atau tertekan pada waktu pelaksanaan penilaian. Suasana menyerupai ini sanggup kuat pada kesiapan mental siswa mengikuti proses penilaian. Suasana hati gembira, cerah dan ceria akan menunjukkan hasil yang baik.

Hasil penilaian juga dipengaruhi oleh keadaan fisik. Kepala pusing, perut mulas, lapar, lelah, apalagi sakit gigi sanggup mempengaruhi cara kerja siswa memecahkan problem lantaran konsentrasi siswa menjadi terganggu sehingga tidak fokus dalam mengerjakan soal-soal atau dalam mengikuti pelaksanaan penilaian.

4. Situasi daerah penilaian
Pada waktu ujian nasional biasanya ada goresan pena “harap tenang, ada ujian”. Tulisan ini ditujukan semoga tidak mengakibatkan kegaduhan, keributan baik didalam maupun di luar ruangan lantaran akan mengganggu konsentrasi siswa yang sedang mengikuti ujian. 

Demikian pula dengan tingkah laris siswa lain yang ada dalam kelas ujian, kadang hanya main-main, terlalu tegang, dan kadang ada siswa yang membaca soal dengan bunyi besar sanggup mempengaruhi siswa dalam mengerjakan soal. 

Pengaruh lainnya tiba dari pengawas, pengawas yang terlalu ketat tidak akan disenangi oleh siswa yang suka menyontek, sebaliknya pengawas yang longgar juga sanggup menciptakan jengkel siswa yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi dan rasa percaya diri pada kemampuannya mengerjakan soal.


Dengan memperhatikan keempat poin di atas, pertolongan predikat “bodoh” terhadap siswa tidak tepat. Kecuali guru telah memperhatikan empat tindakan tersebut sebelum melaksanakan penilaian, itupun bukan “bodoh” melainkan “belum tuntas”, artinya apabila ada siswa yang belum tuntas maka kiprah guru ialah melaksanakan kegiatan remedial, yang diremedial ialah materi-materi yang belum dituntaskan oleh siswa tersebut.

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "√ Dapatkah Siswa Dikatakan “Bodoh” Sesudah Penilaian. Ini Alasannya!"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel