√ Aturan Sebagai Fakta Sosial
Apa bergotong-royong yang dimaksud dengan fakta sosial, Durkheim memberikan klarifikasi bahwa fakta sosial yaitu seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang sanggup berlaku pada pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau sanggup juga dikatakan bahwa fakta sosial yaitu seluruh cara bertindak, yang umum digunakan suatu masyarakat, dan pada ketika yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasimanisfestasi individual.
Durkheim menyebut istilah fakta sosial dengan istilah sui generis yang menjelaskan bahwa fakta sosial mempunyai aksara unik yang tidak sanggup direduksi menjadi sebatas kesadaran individual. Ia memperlihatkan referensi termasuk dalam fakta sosial yaitu aturan legal, beban moral, janji sosial dan bahasa.
Karakteristik dari fakta sosial ini ialah bersifat eksternal dimana individu, dibimbing, diarahkan dan dipaksa untuk mengakui dan menerapkan norma-norma masyarakat. Menurut Durkheim individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh pelbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
Dalam pandangan Berger kalau mendekati masyarakat dari aspek kontrolnya, bahwa individu dan masyarakat sebagai dua entitas yang saling bertikai satu sama lain. Masyarakat dipahami sebagai suatu realitas eksternal yang menekan dan memaksa (koersi) terhadap individu.
Kontrol sosial berfungsi untuk mengembalikan anggota-anggota masyarakat yang kepala kerikil ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang sanggup ada tanpa kontrol sosial. Hukum sebagai karya masyarakat, yang barangkali paling bau tanah umurnya, yaitu aturan tidak tertulis yang merupakan norma-norma yang berkembang seusia masyarakatnya.
Baca Juga
Menurut von Savigny aturan tidak hanya tumbuh dari “norma-norma prahukum” saja, melainkan mengikuti dari etika sosial. Akibatnya aturan sebagaimana beliau menampilkan diri dalam pranata-pranata yang dipraktekkan oleh masyarakat, merupakan refleksi dari jiwa masyarakat tersebut. Hukum alasannya yaitu itu tumbuh terus bersama rakyat berkembang bersamanya, kemudian kesudahannya sirna bersama rakyat, ketika rakyat itu kehilangan identitasnya.
Hukum tidak tertulis dipandang dari fenomenologi eksistensial, merupakan salah satu kebudayaan dan itu hanya mempunyai ruang lingkup “sosial” dan tidak mempunyai ruang lingkup “individual”. Kebudayaan dengan demikian sanggup dipandang sebagai keseluruhan karya masyarakat, sedangkan masyarakat tidak dibayangkan tanpa keseluruhan karyanya itu, yang sekaligus membuatnya spesifik dan dengan demikian membedakannya dengan masyarakat yang lain.
Oleh alasannya yaitu memusatkan pada aturan sebagai suatu unsur kebudayaan, maka aturan akan terkondisikan sebagai berikut :
a) Jika kebudayaan aneka masyarakat sanggup berbeda satu dari yang lain, realisasi dalam bentuk aturan juga akan berbeda-beda.
(b) Sebagai suatu sistem, aturan itu hanya diperoleh dan diteruskan melalui proses belajar.
(c) Sebagai suatu tatanan yang regulatif, aturan itu mencerminkan dimensi insan yang biologis, psikologis, ekologis dan histories. Karena itu, aturan mengatur aneka macam aspek kehidupan manusia.
(d) Sebagai suatu sistem, aturan itu mempunyai struktur, yaitu bangunan konseptual yang terdiri dari bagian-bagian yang integratif sifatnya.
(e) Sejajar dengan aspek-aspek kebudayaan, aturan itu berkaitan dengan aspek kepercayaan dan tata nilai, sosial, ekonomi, teknologi, estetika dan bahasa.
(f) Hukum bersifat dinamis dan karenanya selalu menjelma lebih kompleks. Hal itu terutama tampak dari perangkat aturan material maupun formal yang semakin usang menjadi semakin kompleks dan terspesialisasi, sehingga juga menjadi semakin sukar untuk dipahami oleh orang awam.
(g) Hukum itu juga mencerminkan nilai-nilai yang relatif. Dengan melihat aturan tidak tertulis sebagai produk dari masyarakat lokal dengan keberlakuan lokal sebagai salah satu karakteristiknya, maka Indoneia merupakan negara yang plural dengan karya-karya masyarakat lokal ini.
Pluralitas masyarakat ini bukan berarti tidak bermasalah. Karena “mempunyai keragaman sosio-kultural yang sekaligus merefleksikan adanya fakta terpilah-pilahnya kesetiaan dan kebutuhan aturan dikalangan warga masyarakat”.
Dengan jumlah 400 etnis dan hidup dengan 67.000 etika yang tersebar di 3000 pulau merupakan suatu kiprah yang luar biasa sulit mempertahankan dan menyatukannya. Anggota perkampungan masih mempertimbangkan dirinya yang pertama sebagai warga lokal dan gres yang kedua sebagai warga republik. Komunitas perkampungan masih mempertahankan etika lokalnya dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri.
Dengan memandang keadaan menyerupai itu, maka nampaknya sistem pemerintahan demokrasi menjadi pilihan yang paling ideal. Sistem demokrasi ini akan menghargai kesatuan di dalam keanekaragaman. Meskipun demikian, di dalam praktek sepertinya masyarakat demokratis itu berjalan paling baik dalam kondisi-kondisi yang homogin.
Bagi kebanyakan masyarakat adanya pluralitas kultural yang besar lengan berkuasa sepertinya menghambat jalannya lembaga-lembaga demokratis, terutama kalau pecahan-pecahan nilai (primordial dan sakral) saling menguatkan.
Kendatipun secara geografis masyarakatnya terpisah-pisah oleh maritim dan bahkan Negara lain (Timur Leste). Namun ada yang menyatukannya yaitu tatanan aturan nasional yang berlaku untuk seluruh tanah air bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tatanan Hukum Nasional yang dimaksud yaitu tatanan aturan tertulis (State Law) yang kalau ditelusuri dari sisi sejarah asas pemerintahan menurut undang-undang mulai menancapkan kukunya pada masa 19 berjalan seiring dengan keberadaan Negara aturan klasik atau Negara aturan liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran aturan legalistic-positivistik, terutama imbas anutan aturan legisme, yang menganggap aturan hanya apa yang tertulis dalam undang-undang.
Oleh alasannya yaitu itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelegaraan kenegaraan dan pemerintahan, dengan kata lain, asas legalitas dalam gagasan Negara aturan liberal mempunyai kedudukan sentral.
Daftar pustaka
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Dari Teori Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Posmodern, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2008.
Doyle Paul Jonhnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan Robert M.Z. Lawang, Jakarta, Gramedia, 1986.
Peter L. Berger, Humanisme Sosiologi, Jakarta, Inti Sarana Aksara.
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.
Harsojo, Pengantar Antropologi dalam Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematk Filsafat Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999.
Soetandyo Wignjosoebroto, Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran dan Kebijakan Perkem-bangan Hukum Nasional, Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pluralisme Hukum : Perkembangan di Beberapa Negara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya Dalam Gerakan Pembaharuan Hukum, pada tanggal 21 Nopember 2006 di Universitas Al Azhar, Jakarta.
Selo Soemardjan and Kennon Breazeale, Cultural Change In Rural Indonesia Impact of Village Development, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1993.
Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.
Sjahran Basah, Perlindunngan Hukum terhada Sikap Tindak Administrasi Negara, Bandung, Alumni, 1992.
Belum ada Komentar untuk "√ Aturan Sebagai Fakta Sosial"
Posting Komentar