√ Pemberlakuan Paradigma Rasional Dan Fakta Sosial

Indonesia merupakan negara dengan multi etnis, agama, kepercayaan dan budaya, maka dalam bidang aturan juga sangat plural. Pluralisme hukum, demikian jikalau boleh dikatakan, merupakan suatu penyimpangan dimana aturan negara mengakui beberapa aturan kebiasaan. Hooker lebih lanjut menyatakan bahwa secara umum mengatakan tiga hal yang penting :

1) sistem aturan nasional ialah superior secara politik, untuk memperluas keberadaannya  yang dapat menghapus sistem orisinil (pribumi).

2) dimana ada suatu kontradiksi terhadap kewajiban  (hukum) peraturan-peraturan sistem nasional akan   dan mengingat sistem orisinil (indigenous) akan dibentuk berdasar pendirian  dan dalam bentuk yang dibutuhkan sistem nasional.

3) dalam deskripsi dan analisis yang ada sistem orisinil (indigenous) memakai penjabaran yang akan ada itu  terhadap sistem nasional. 

Ajaran mengenai pluralisme aturan (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme aturan (legal centralism).

Baca Juga

Ideologi sentralisme aturan diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan aturan negara (state law) sebagai satu-satunya aturan bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem aturan yang lain, ibarat aturan agama (religious law), aturan kebiasaan (customary law), dan juga semua bentuk mekanismemekanisme pengaturan lokal (self-regulation) dalam masyarakat.

Ideologi sentralisme aturan ini diwujudkan dengan memakai instrumen perundang-undangan yang akan digunakan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Ini merupakan ciri yang menonjol dari aturan pada masyarakat modern ialah penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Penguasaan atau pengarahan proses sosial ini juga disebut social enggineering.

Indonesia ialah negara yang bercorak beragam atau pluralis, termasuk sistem aturan yang berlaku dimasyarakat. Hal ini alasannya selain aturan negara (state law), secara de facto di masyarakat masih berlaku aturan adat, aturan agama (religious law) dan juga mekanisme-mekanisme regulasi sendiri (self-regulation) dalam kehidupan masyarakat. 

Menurut I Nyoman Nurjaya, pembangunan aturan di Indonesia cenderung bersifat sentralisme aturan (legal centralism), melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi aturan bagi seluruh rakyat dalam teritori (rule-centered paradigm), implikasinya, aturan negara cenderung menggusur, mengabaikan, dan mendominasi keberadaan sistem-sistem aturan yang lain, alasannya secara sadar aturan difungsikan
sebagai government social control.

Hukum ialah sarana untuk melayani kekuasaan. Hukum dalam hal ini ialah alat yang gampang diutak-atik, siap digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, mengawal otoritas, mengamankan hak-hak istimewa dan memenangkan ketaatan. 

Namun semenjak Orde Reformasi berjalan,  tatanan aturan nasional ini harus membuka peluang dikala tuntutan masyarakat menghendaki berlakunya aturan yang bersifat  partikularistik yang berlaku bagi masyarakat-masyarakat  tertentu. Ini merupakan konsekuensi adanya ratifikasi demokrasi dalam upaya menampung banyak sekali pluralitas yang ada di nusantara ini.

Disamping aturan tertulis baik yang bersifat nasional maupun partikularistik, dimasyarakat sendiri sudah ada hukum-hukum yang tidak tertulis yang juga dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga keduanya berlaku beriringan. Dengan memandang keadaan ibarat itu, maka nampaknya sistem pemerintahan demokrasi menjadi pilihan yang paling ideal.

Sistem demokrasi ini akan  menghargai kesatuan di dalam keanekaragaman. Meskipun demikian, di dalam praktek sepertinya masyarakat demokratis itu berjalan paling baik dalam kondisi-kondisi yang homogin.

Bagi kebanyakan masyarakat adanya pluralitas kultural  yang besar lengan berkuasa sepertinya menghambat jalannya lembaga-lembaga demokratis, terutama jikalau pecahan-pecahan nilai (primordial dan sakral) saling menguatkan.

Daftar pustaka

Nurjaya, I Nyoman, Memahami Posisi dan Kapasitas Hukum Rakyat Dalam Politik Pembangunan Hukum di Indonesia, http://www.sociolegal.org

John Griffiths, What is Legal Pluralism?, Journal of legal Pluralism, 1986.

Satjipto Rahadjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit Angkasa Bandung, 1986.

Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, terjemahan Rafael Edy Bosco, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi,, Jakarta,  HuMa, 2003.

Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial,  Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "√ Pemberlakuan Paradigma Rasional Dan Fakta Sosial"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel