√ Memori Seorang Guru 1

Seorang guru senior, umurnya sekitar 60-an tahun. Di usianya selama mengajar sudah tidak terhitung banyaknya siswa yang mencicipi didikannya, saya termasuk salah satu murid beliau. Selama mengajar, dia sangat disiplin, disiplin waktu, materi, pakaian dan lain-lain. Beliau mendidik kami dengan memperlihatkan dirinya sebagai yang patut di teladani.

Kini dia sudah pensiun, energi yang dulunya menjadi motivasi bagi siswanya sudah mulai menurun, hanya kata-katanya yang masih menyiratkan semangat dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. Mungkin alasannya yaitu faktor usia dan wadahnya yang tidak ada sehingga kepeduliannya tidak tersalurkan. Namun demikian kami sangat menghormati beliau, kami menyebabkan teladan dan suri teladan selama kami bekerja. 

Pada suatu hari dia ingin mengambil honor pensiunnya di Kantor Pos. Karena banyaknya pensiunan mulai dari guru hingga pegawai lainnya sehingga dia harus berjibaku dengan panas dan pengapnya ruang antrian. Seolah apa yang telah diperbuatnya tidak lagi bernilai, seharusnya mereka yang telah berjasa pada bangsa dan negara mendapatkan perlakuan yang istimewa.   

Akan tetapi anda hidup di negeri 1001 macam persoalan, 1001 macam perlakuan, dan 1001 macam mimpi yang sudah dibeli oleh demokrasi. Beliau salah satu orang yang berjasa yang kini mendapatkan ketidakadilan negeri ini.

Pada ketika selagi menunggu, tiba-tiba ada seorang pegawai mengajak dia ke ruang kerjanya. Ruangan yang ber-AC, sudut ruangan terdapat dingklik sofa. Di bersahabat jendela terdapat meja kerja yang sangat indah, selama dia menjadi guru belum pernah sekalipun mencicipi suasana ruangan menyerupai ini. Terlintas di benak beliau, seandainya para guru diperlakukan menyerupai ini, dia yakin dunia pendidikan tidak akan menjadi daerah kumpulan orang-orang stres. Dimana guru harus memikiran bahan pelajaran, kasus siswa, kenaikan pangkat, model, metode, penilaian, dan lain sebagainya.

“Apakah bapak mau terima pensiunnya?” kata pegawai yang mengajak dia ke ruang kerjanya.
“Iya, tetapi sementara menunggu antrian” jawab beliau.
“Lain kali eksklusif ke ruangan saya ini, mari pak kertasnya agar bawahan saya yang uruskan” kata pegawai tersebut meminta secarik kertas yang digunakan untuk mendapatkan uang pensiunnya.

Kemudian pegawai yang tidak lain yaitu kepala kantor itu menyuruh bawahannya mengurus pensiunnya beliau. Lalu kembali duduk disamping beliau.

“Pak, saya yakin bapak mungkin sudah lupa dengan saya, dari sekian ribu orang siswa bapak, salah satunya kini telah menjadi kepala kantor dan orang itu yaitu saya pak!. Saya sangat bersyukur alasannya yaitu didikan bapak sehingga saya sanggup menjadi menyerupai sekarang, alasannya yaitu kedisiplinan bapak terhadap kami sehingga saya sanggup mengikuti keadaan dengan lingkungan kerja di kantor ini, alasannya yaitu pesan-pesan moral bapak sehingga saya sanggup memberi motivasi kepada para bawahan saya. Saya tidak akan memaksa bapak untuk mengingat saya, ini namaku (rahasia), dan sambil menunggu uang pensiun bapak diterimakan oleh bawahan saya tadi, saya berharap supaya bapak kembali memperlihatkan nasehat kepada saya, oh iya pak, jikalau bapak bersedia, saya mengharapkan kehadiran bapak, ada program syukuran dirumah, alamatku ini pak . . . . . .” kata pegawai itu.

Begitulah sepenggal dongeng beliau, hingga kini alasannya yaitu kepala kantor masih mantan didikan dia sehingga dia selalu mendapatkan pensiunnya di ruang kerja kepala kantor. Apa yang engkau tanam maka engkau pula yang akan menikmatinya. Jadilah guru semata-mata alasannya yaitu Allah kelak engkau pula yang akan mencicipi manfaatnya.

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "√ Memori Seorang Guru 1"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel