√ Kkm (Kebohongan) Apakah Terstruktur Dalam Pendidikan ?

Kurikulum kita mengikuti filosofi mastery learning (belajar tuntas). Belajar tuntas (mastery learning) yaitu filosofi pembelajaran yang berdasar pada anggapan bahwa semua siswa sanggup berguru jika diberi waktu yang cukup dan kesempatan berguru yang memadai.
Selain itu, dipercayai bahwa siswa sanggup mencapai penguasaan akan suatu bahan jika standar kurikulum dirumuskan dan dinyatakan dengan jelas, penilaian mengukur dengan sempurna kemajuan siswa dalam suatu materi, dan pembelajaran berlangsung sesuai dengan kurikulum. Dalam metode berguru tuntas, siswa tidak berpindah ke tujuan berguru selanjutnya jika ia belum menawarkan kecakapan dalam bahan sebelumnya.
Belajar tuntas berdasar pada beberapa premis, diantaranya: a) Semua individu sanggup belajar, b) Orang berguru dengan cara dan kecepatan yang berbeda, c) Dalam kondisi berguru yang memadai, imbas dari perbedaan individu hampir tidak ada, d) Kesalahan berguru yang tidak dikoreksi menjadi sumber utama kesulitan belajar.
Siswa yang tidak menuntaskan suatu topik dengan memuaskan diberi pembelajaran perhiasan hingga mereka berhasil (remidial). Siswa yang menguasai topik tersebut lebih cepat akan dilibatkan dalam acara pengayaan hingga semua siswa dalam kelas tersebut bisa melanjutkan ke topik lainnya secara bersama-sama. Dalam lingkungan berguru tuntas, guru melaksanakan aneka macam teknik pembelajaran, dengan proteksi umpan balik yang banyak dan spesifik memakai tes diagnostik, tes formatif, dan pengoreksian kesalahan selama belajar. Tes yang dipakai di dalam metode ini yaitu tes menurut pola kriteria dan bukan atas pola norma.
Karenanya konsep mastery learning ini maka Kurikulum kita (KTSP juga K-13) dijelaskan dengan SK, KD dan lainnya secara detail, dan dibuatlah KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang dianggap memuaskan dan remidial jika seorang anak belum mencapai KKM yang ditentukan.
Lalu bagaimana memilih KKM?
Dijelaskan bahwa cara menetukan KKM melihat tiga (3) hal/aspek yaitu; 1) Karakteristik penerima didik (intake), 2) Karakteristik mata pelajaran (kompleksitas materi/ kompetensi), dan 3) Kondisi satuan pendidikan (daya dukung) pada proses pencapaian kompetensi.
Pertanyannya: Apakah sekolah melaksanakan itu dengan baik dan benar bahkan serius? Baik mulai no 1 hingga no 3, utamanya no 2? Benarkah dilakukan?
Lalu sehabis ditentukan KKM-nya, apakah belum dewasa mendapat remidial dengan benar? Dalam artian jika ditentukan KKM contohnya 75 untuk mata pelajaran IPS dan IPA kemudian 7.0 untuk Matematika.
Apakah sehabis belum dewasa mendapat penilaian dan nilainya mencapai dibawah KKM apakah mesti diremidi? Ya seharusnya…berapa kalikah remidial itu (secukupnya, seharusnya hingga KKM tuntas/dicapai). Mungkinkah itu dilakukan jika melihat realita, utamanya pelajaran Matematika atau B. Inggris juga lainnya?
Matematika misalnya: Anak yang sangat berilmu mendapat nilai 80 – 100, yang berilmu mendapat 70 – 75, yang sedang 60 – 65, yang kurang 45 – 50, dan yang kurang sekali mendapat skore/nilai 20-40. Ini realitanya.
Setelah diremidial misalnya, maka hasil remidi 2x, belum dewasa yang mendapat skore 60 dan 50 mencapai skore 70 (memuaskan, tuntas sesuai KKM). Dan anak yang mendapat skore 20 -40, mungkin perlu remidial 5-7x, semoga tuntas sesuai KKM.
Pertanyaan yang sangat sulit dijawab adalah:
1) Apakah yang mendapat 70 orisinil dan 70 remidial akan sama diraport-nya dan juga pemahamannya?
2)  Apakah belum dewasa yang mendapat nilai 20 – 40, bisa mencapai 70 dengan remidial 5-7x, misalnya?
3) Kalaulah mampu, apa makna nilai itu buat mereka? Apakah mereka akan paham dan tuntas bahan KD tersebut?
4. Mungkinkah guru/sekolah melaksanakan remidial sebanyak itu?
Karena konsep besarnya sudah bermasalah (sebab tidak ada KKM sekolah yang 5.0 misalnya, 6.0; 6.5,  justru yang banyak malah 7.5 dan 8.0, minimal 7.0), maka remidial akan sekadar remidial, raport tidak mencerminkan dan menceritakan keadaan siswa yang sebenarnya. Karena takut akan tidak naik/lulus, setiap anak mesti naik/lulus, maka bagaimanapun harus diupayakan nilai sesuai KKM. Apa yang terjadi?
Marilah kita bicara sebagai seorang pendidik yang tahu realitas dilapangan, dan bukan sekadar konsep diatas kertas. Bagaimana mensingkronkan antara idealisme dan realitas dilapangan?
Muhammad Alwi, S.Psi, MM

Sumber : https://pendidikanpositif.com/2019/12/27/kkm-dan-kebohongan-terstruktur-pendidikan/

Belum ada Komentar untuk "√ Kkm (Kebohongan) Apakah Terstruktur Dalam Pendidikan ?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel