√ Melatih Kompetensi Komunikatif Siswa Melalui Pelatihan Dengan Pendekatan Tematis Bagi Guru Bahasa Indonesia
Kompetensi komunikatif yang ada pada murid sanggup tumbuh dengan sendirinya, atau sanggup pula tumbuh dengan perjuangan pembinaan. Usaha training sanggup dilakukan melalui sesuatu yang strategis berupa penerapan pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan tematis. Pendekatan tematis yang diterapkan oleh guru merupakan contoh yang bersifat aksiomatis, dipakai untuk mendasari pemilihan langkah- langkah pembelajaran yang sanggup membina kompetensi komunikatif pada murid (Kaswanti Purwo, 1998).
Pendekatan tematis yang diterapkan dalam membina kompetensi komunikatif merupakan pendekatan pembelajaran yang disajikan dalam taktik yang berpola integrated. Strategi instruksional yang berpola integrated ditandai dengan; pengajaran berpusat pada murid memperlihatkan pengalaman pribadi kepada murid, tidak ada pemisahan dengan bidang studi lain, menyajikan konsep dari aneka macam bidang studi di dalam sebuah unit proses pembelajaran, dan hasil berguru sanggup berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan murid. Hal ini berlawanan dengan taktik yang berpola fragmented. Adapun taktik instruksional yang berpola fragmented ditandai dengan; pengajaran berpusat pada guru sebagai model, tidak memperlihatkan pengalaman pribadi kepada murid, mengadakan pemisahan suatu bidang studi dengan bidang-bidang studi lain, dan hasil berguru murid merupakan hasil yang seragam (Fogarty, 1991).
Dalam hal ini, pendekatan tematis yaitu sebuah model pengitegrasian dari aneka macam keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, wicara dan menulis) yang selama ini disajikan guru secara terpisah-pisah (Andayani, 2008).
Reynold (1992) menyatakan adanya problema dalam hal keefektifan mengajar yang tidak diterapkan oleh guru di dalam pembelajarannya di sekolah lanjutan dan ditemukan juga adanya kekerabatan antara hasil berguru murid dengan gaya mengajar guru.
Kompetensi komunikatif yang ada pada murid bergotong-royong berupa pola berpikir atau wangsit yang timbul secara impulsif dan imajinatif, yang mencirikan hasil-hasil yang artistik, idealis atau temuan-temuan lain (Nolan&Kagan, 1980).
Kompetensi komunikatif mempunyai tiga aspek sebagai ciri penanda, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi perihal (Tarigan, 1992).
Kompetensi gramatikal secara pribadi memfokuskan diri pada pengetahuan dan keterampilan seseorang yang diharapkan untuk memahami dan mengekspresikan secara sempurna makna dari bahasa. Dengan demikian, kompetensi gramatikal merupakan hal yang penting bagi pelaksana kegiatan pembelajaran bahasa (Canale, 1984). Adapun ciri-ciri kompetensi gramatikal berupa penguasaan terhadap kosakata, pembentukan kata dalam proses morfologis dan pembentukan kalimat.
Kompetensi sosiolinguistik yaitu keluasan pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan seseorang yang dipahami secara sempurna dalam aneka macam konteks. Ketepatan ucapan ini mengacu kepada ketepatan makna dan bentuk. Ketepatan tersebut berkaitan dengan wadah fungsi-fungsi komunikatif tertentu, contohnya perintah, tuntutan, undangan, dan juga sikap-sikap tertentu, menyerupai keramahan dan kewajaran dalam menempatkan gagasan tertentu. Hal ini sanggup dilakukan seseorang secara kreatif dan spontan. (Andayani, 2008).
Kompetensi perihal berkenaan dengan penguasaan seseorang dalam menggabungkan bentuk-bentuk dan makna untuk mencapai pemahaman dan produksi bahasa dalam bentuk teks, dalam aneka macam genre, yang di dalamnya mencakup: narasi, esei argumentatif, laporan ilmiah, dan surat menyurat (Little, 1993). Ciri-ciri kompetensi perihal yang dimiliki seseorang yaitu adanya hal-hal berikut ini: ulangan makna untuk menandai kesinambungan, gerak maju makna untuk menyatakan arah ide, nonkontradiksi untuk menandai kekonsistenandan relevansi makna untuk menandai kesesuaian (Laughlin & Moulton, 1990).
Pola lain dari pendekatan yang sering dijumpai pada pembelajaran bagi belum dewasa selain integrated yaitu fragmented. Hal demikian didasarkan pada anggapan bahwa siklus berguru pada anak yang meliputi, kesadaran – eksplorasi – inkuari – penerapan - dst. (Bredekamp&Rosegrant, 1992). Dari sinilah kesannya banyak guru yang memisahkan aneka macam bahasan pengajarannya ke dalam pokok-pokok bahasan yang sering dikenal dengan fragmented. Terhadap pembelajaran yang sasarannya anak-anak, ada hal-hal tertentu yang perlu disajikan dengan integrated, namun ada pula yang seharusnya diterapkan secara fragmented. (Andayani, 2008).
Kemudian, pendekatan yang berpola fragmented ini mempunyai ciri-ciri; pengajaran berpusat pada guru sebagai model, tidak memperlihatkan pengalaman pribadi kepada murid, dan hasil berguru murid merupakan hasil yang seragam. (Andayani, 2008).
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang dilaksanakan dengan pendekatan tematik integrated sangat penting diterapkan sebab pengaruhnya sanggup meningkatkan kompetensi komunikatif siswa, indikatornya siswa dapat:
- mengungkapkan wangsit dengan santai;
- bertanya dan menjawab pertanyaan dengan air muka murid yang tampak gembira;
- menunjukkan kekerabatan interpersonal antar murid yang akrab, dan
- menggunakan bahasa Indonesia dengan masuk akal dan ramah (Andayani, 2008)
Pembelajaran Bahasa Indonesia pada hakikatnya tidak hanya berhenti pada instructional-objective berupa selesainya penilaian yang ditandai dengan lulus ujian. Akan tetapi, bergotong-royong pembelajaran Bahasa Indonesia juga bermaksud melahirkan nurturant-effect yang berupa kompetensi komunikatif dengan ciri penanda hebat secara gramatikal, hebat dalam wacana, dan juga hebat secara sosiolinguistik yang kesemuanya itu mustahil tercapai kalau di dalam kelas guru masih menerapkan cara usang dengan lebih banyak mengisi kegiatan berguru murid dengan membahas soal-soal yang terangkum di dalam buku paket dan LKS(Lembar Kerja Siswa) saja. (Andayani, 2008)
Belum ada Komentar untuk "√ Melatih Kompetensi Komunikatif Siswa Melalui Pelatihan Dengan Pendekatan Tematis Bagi Guru Bahasa Indonesia"
Posting Komentar