√ Daerah Tinggal Naga Menurut Dongeng Naga Pada Karya Sastra Jawa Kuno

Cerita ihwal Naga yang sangat dikenal dalam karya Sastra Jawa Kuno yaitu Samudramanthana atau Amŗtamanthana, dan Garuḍeya yang keduanya terdapat di dalam Kitab Ādiparwa yang disadur ke dalam bahasa Jawa Kuno pada sekitar masa ke-10. Cerita ihwal pengadukan Lautan Susu (Ksirārnawa) untuk memperoleh air Amŗta ini pun terdapat dalam kitab lain yaitu Kitab Tantu Panggelaran yang disusun kurang lebih pada masa ke-16, juga dalam naskah Hariwijaya dan Astikayana yang disusun di Bali sekitar masa ke-19 (Zoetmulder 1974: 69, 386, 396). Cerita ihwal pengadukan Ksirārnawa untuk mencari Amŗta terdapat pula dalam Kakawin Rāmayana sarga VIII: 43-59, 73, sarga XIII 6-10, sarga XXI 236 -2371 dan dalam Kakawin Bharatayuddha LI 6-10, namun ceritanya tidak selengkap teks-teks tersebut sebelumnya (Rahayu 2000: 191-205).

   

Ādiparwa Jawa Kuno terdiri dari dua bagian, cuilan pertama menceritakan Sarpayajña (korban ular) yang dilakukan oleh Raja Janamejaya, anak Pariksit cucu Abhimanyu, lalu dilanjutkan dengan kisah ihwal pengadukan Lautan Susu (Ksirārnawa) untuk mencari amŗta, yang disambung dengan kisah Garuḍeya. Cerita Garuḍeya ini berisi ihwal permusuhan antara Garuḍa anak Sang Winata dan ular-ular anak Sang Kadru, madu Sang Winata. Bagian kedua Kitab Ādiparwa menceritakan ihwal kakek Pandawa dan Kaurawa yaitu Byasa, serta kelahiran dan kehidupan masa kecil keturunan Bharata tersebut (Zoetmulder 1974: 68-71).

Samudramanthana yang dikenal pula dengan nama Amŗtamanthana menceritakan pengadukan Lautan Susu (Ksirārnawa) oleh para Dewa dan Aśura (Daitya dan Danawa), untuk mencari air amŗta yang ada di dasar bahari tersebut. Gunung Mandara yang terletak di Pulau Śangkha (Śangkhadwipa) tidak jauh dari Lautan Kṣirā, dicabut dan dijadikan alat untuk mengaduk, dan ular-naga Basuki digunakan sebagai tali, kura-kura Akupa bertugas untuk menjadi dasar Gunung Mandara, biar gunung dengan gampang sanggup berputar dan tidak tenggelam. Diaduklah Ksirārnawa, dewa-dewa menarik ekor Naga, dan Aśura menarik kepala Naga Basuki. Setelah mengalami kesukaran, alhasil keluarlah ardhacandra, Sri dan Laksmi, kuda Ucchaihsrawa, permata Kostubha semuanya diambil oleh para Dewa, dan yang terakhir Dhanwantarī menggendong Śwetakamandalu, yang berisi air amŗta, diambil oleh para Daitya. Ketika para Dewa dan Asura sedang beristirahat, Wisnu merubah dirinya menjadi seorang gadis elok mendekati para Asura, dan ketika Daitya lengah diambillah kamandalu kawasan air amŗta, sehingga terjadilah perang dengan kemenangan dewa-dewa. Di Wisnuloka, Dewa-dewa minum air amŗta, dan di antara mereka terdapat seorang Danawa mengubah dirinya menjadi Dewa dan ikut minum amŗta. Penyamarannya diketahui oleh Candra dan Aditya, mereka memberi tahu Wisnu, dan Danawa tersebut dilempar cakra oleh Wisnu. Tubuhnya mati, tetapi kepala tetap hidup sebab ketika dilempar cakra, Danawa tersebut telah minum amŗta hingga ke leher. Mengetahui perbuatan Candra dan Aditya marahlah Daitya tersebut, dan pada saat-saat tertentu kepala Danawa itu menelan Candra dan Aditya (Zoetmulder 1974: 69).

Cerita kedua yaitu Garuḍeya juga menceritakan ihwal pencarian amŗta oleh Garuḍa untuk menebus ibunya, Sang Winata, yang diperbudak madunya yaitu Sang Kadru. Kejadiannya pada waktu pengadukan Lautan Susu, ketika kuda Ucchaihsrawa akan keluar, sang Winata, ibunya Garuḍa, bermain tebak-tebakan dengan madunya, Sang Kadru, ibu para ular. Winata menebak warna ekor kuda Ucchaihsrawa berwarna putih, tetapi lalu Kadru minta anak-anaknya menyemburkan sanggup ular, sehingga ekor kuda yang semula berwarna putih menjadi hitam. Dengan sendirinya Sang Winata kalah dan dengan kekalahannya itu Sang Winata menjadi budak Sang Kadru. Bahkan Garuḍa yang tidak mengetahui kejadiannya ikut menjadi budak ular-ular anak Sang Kadru. Ketika tahu bahwa ibunya sanggup bebas apabila ditebus dengan air amŗta, maka Garuḍa berusaha mengambil amŗta di kawasan dewa-dewa. Setelah berhasil ia berjanji akan menjadi wahana (kendaraan) Wisnu, dan amŗta dibawa ke kawasan ular untuk menebus ibunya, tetapi ketika Naga membersihkan diri, amŗta diambil oleh Indra. Para ular sangat sedih dan menjilati ilalang kawasan amŗta sehingga lidahnya terbelah. 

Perlu dikemukakan disini, bahwa dalam beberapa mitologi, Naga seringkali dibedakan secara fisik dari ular biasa. Naga digambarkan bertubuh lebih besar dari ular biasa, menggunakan mahkota dan embel-embel lainnya, kadang kala digambarkan berkaki empat. Beberapa Naga dianggap setengah Dewa (demi god) dan diang-gap sebagai penyangga bumi (bhūdara), mereka yaitu ular-naga Ananta atau Anantabhoga, ular Sesa, ular Basuki dan sebagainya. 

Kitab-Kitab Udyogaparwa, Agastyaparwa, Tantu Panggelaran dan Korawasrama menceritakan Naga sebagai berikut: 

• dalam Udyogaparwa 62.29 dikatakan: kahananing Naga sinangguhakěn saptapatala (tempat naga di Saptapatala) 
• dalam Agastyaparwa (abad ke-11) terdapat kalimat: Naga kurma unggwan I kandarana prthiwi (: ular dan kura-kura menyangga bumi) 
• dalam Tantu Panggelaran dikatakan: sang hyang anantabhoga pinaka dasaring prthiwi (Sang Hyang Anantabhoga sebagai dasar bumi) 
• dalam Korawaśrama (abad ke-16) terdapat kalimat: nusa yawa kasangga de badawang nala mwang sang anantabhoga (Pulau Jawa disangga oleh Badawang Nala (kura-kura) dan Anantabhoga (Swellengrebel 1936: 202- 204). 

Dari uraian naskah-naskah tersebut, diketahui bahwa kawasan tinggal naga ada di dunia bawah (patala) oleh karenanya, naga dianggap sebagai penyangga bumi (bhūdara).

Bagikan Artikel ini